Si Pitung lahir di Rawa Belong, Jakarta Barat. Karena keberaniannya melawan penjajahan Belanda membuat nama si Pitung menjadi buah bibir masyarakat masa itu hingga kini. Rumah Si Pitung yang terletak di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, diperkirakan dibangun pada abad ke 19. Berdasarkan cerita legenda, Si Pitung berhasil dibunuh oleh pihak Belanda pada saat itu, dan sebelum ditangkap si Pitung dalam keadaan rambut terpotong, beberapa jam sebelum kematiannya pada hari Sabtu.
Seperti yang diceritakan oleh legenda bahwa kesaktian Si Pitung hilang akibat jimat-nya diambil orang, tetapi yang menarik, versi lain menyatakan, bahwa Si Pitung dapat dilemahkan” jika dipotong rambut-nya. Berdasarkan koran Hindia Olanda dikatakan bahwa sebelum kematiannya Si Pitung telah dipotong rambutnya. Beragam pro dan kontra menyelubungi di balik kisah legenda Si Pitung ini, tetapi pada dasarnya tokoh Si Pitung adalah cerminan pemberontakan sosial yang dilakukan oleh “Orang Betawi” terhadap penguasa pada saat itu, yaitu Belanda..
Inilah kisah Robin Hood dari Betawi. Si Pitung
Si Pitung lahir di daerah Pengumben, di sebuah kampung di Rawa Belong yang pada saat ini berada di sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bang Piung dan ibunya bernama Mpok Pinah. Si Pitung menerima pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh Haji Naipin, seorang pedagang kambing. Pitung merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, pasangan suami-istri Piun dan Pinah. Berdasarkan cerita rakyat betawi, sejak kecil belajar mengaji di mushola di kampung Rawa Belong. Si Pitung, murid yang penurut, ‘denger kate’. dan juga pintar ‘terang hati’, cakep menangkap pelajaran agama yang diberikan ustadznya, sampai mampu membaca (tilawat) Al Quran. Selain belajar agama, seperti warga Betawi lainnya, juga belajar ilmu silat. H Naipin, juga guru tarekat dan ahli silat. Masa mudanya, dihabiskan dengan mempelajari ilmu silat dengan pengawasan gurunya di Rawa Belong.
Kehebatan silat Pitung diuji ketika menjual kambing di Tanah Abang, uang hasil penjualan dicopet. Maka terjadilah perkelahian dengan kawanan pencopet. Dalam beberapa jurus, seluruh copet kampung itu terkapar di tanah. Melihat kehebatan korbannya, kawanan pencopet itu malah meminta agar Pitung menjadi pemimpin mereka. Menjadi pemimpin pencopet, Pitung mulai beraksi. Namun kali ini korbannya bukan warga biasa karena ia pernah berjanji untuk membela warga yang lemah. Selama belajar silat itu, Pitung merasakan kehidupan orang Betawi dan Belanda (Eropa) sangat kontras. Dibalik penjajah yang disebut tuan besar, termasuk tuan-tuan tanah yang hidup mewah, Pitung melihat penderitaan rakyat kecil di sekitarnya. Kondisi inilah yang membuat ia suka melakukan perampokan terhadap orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah, yang membelenggu petani dengan berbagai blasting (pajak). Hasil rampokannya itu dibagi-bagikan kepada masyarakat miskin. Menurut kabar, Pitung menyumbangkan uangnya pada masjid-masjid. Saat itu masjid hanya ada di Pekojan, Luar Batang, dan Kampung Sawah.
Pada tahun 1892, Pitung dan kawanannya ditangkap oleh polisi. Setelah ditangkap, kurang dari setahun kemudian, pada musim semi 1893, Pitung dan Dji-ih merencanakan kabur dengan cara yang misterius dari tahanan Meester Cornelis. Karena kejadian tersebut, Kepala Penjara dicurigai melepaskan si Pitung dan Dji-ih. Akhirnya seorang Petugas Penjara mengakui bahwa dia meminjamkan sebuah belincong (sejenis linggis pencungkil) kepada Si Pitung, yang kemudian digunakan untuk membongkar atap dan mendaki dinding Akibatnya, Si Pitung lepas lagi.
Dji-ih ditangkap kembali di kampung halamannya ketika sedang menderita sakit. Pada saat itu Dji-ih pulang ke kampung halamannya untuk memperoleh pengobatan. Kemudian dia pindah ke rumah orang tua yang dikenal. Kepala kampung pada saat itu (Djoeragan) melaporkannya ke Demang kemudian memerintahkan tentara untuk menangkap Dji-ih di rumahnya. Dia menyerah tanpa perlawanan.
Beberapa bulan kemudian, di bulan Oktober, Kepala Polisi Hinne mempelajari dari informan bahwa Pitung terlihat di Kampung Bambu, kampung di antara Tanjung Priok dan Meester Cornelis. Kemudian dalam perjalanannya Hinne diberi laporan bahwa Pitung telah pindah ke arah kuburan di Tanah Abang. Kemudian, Hinne menembaknya dalam penyergapan itu. Pitung ditembak di tangan, kemudian Pitung membalasnya. Kemudian Hinne menembak kedua kalinya, tetapi meleset, dan peluru ketiga mengenai dada dan membuatnya terjerembab di tanah. Sehari sesudah kematiannya, hari Senin, jenazah dibawa ke pemakaman Kampung Baru pada jam 5 sore.
Setelah Hinne menangkap Pitung, setahun kemudian dia dipromosikan menjadi Kepala Polisi Distrik Tanah Abang untuk mengawasi seluruh Metropolitan Batavia-Weltevreden. Setelah kejadian tersebut Pemerintah Hindia Belanda melakukan pencegahan agar “Pitung-Pitung” yang lain tidak terjadi lagi di Batavia. Bahkan karena ketakutannya makam Si Pitung setelah kematiannya, dijaga oleh Pemerintah Belanda agar tidak diziarahi oleh masyarakat pada waktu itu.
Baca Juga : Hikayat Buaya Putih